7 Pesepakbola dari Jazirah Arab yang Sukses di Eropa

Sekalipun tidak banyak, Jazirah Arab tidak pernah absen menelurkan pesepakbola hebat. Setiap era pasti ada pesepakbola dari Jazirah Arab yang bermain di Eropa. Bahkan tidak hanya bermain, tapi juga merengkuh kesuksesan.

Meski negara-negara dari Jazirah Arab juga tidak banyak yang berhasil mendulang prestasi di kancah dunia. Terakhir kita mengenal perjuangan menakjubkan Timnas Maroko yang berhasil menjadi semifinalis di ajang Piala Dunia 2022. Nah, buat yang belum tahu, Jazirah Arab ini merupakan wilayah semenanjung.

Letaknya di sudut paling barat daya Asia. Ia dibatasi Laut Merah di barat dan barat daya, Teluk Eden di Selatan, Laut Arab di tenggara dan selatan, serta Teluk Oman di bagian timur. Secara politik, Jazirah Arab atau Semenanjung Arab terdiri dari negara-negara di Asia Barat dan Asia Tengah.

Bahrain, Arab Saudi, Kuwait, Yaman, Uni Emirat Arab, Qatar, sampai Oman. Namun, secara geografis Jazirah Arab juga mencangkup beberapa negara di bagian Afrika Utara, seperti Mesir, Maroko, Libya, sampai Aljazair. Jazirah Arab ini juga sering disebut sebagai negara Timur Tengah.

Mantan Presiden Amerika, George Walker Bush mengklasifikan Jazirah Arab sebagai wilayah di Timur Tengah yang menganut agama Islam. Nah, biar lebih enak kita pakai yang secara geografis saja. Berikut ini pemain dari Jazirah Arab terbaik yang pernah sukses di Eropa.

Ali Al-Habsi

Pemain pertama adalah Ali Al-Habsi. Namanya boleh jadi tidak familiar di kuping. Namun, pemain yang satu ini merupakan ikon negara asalnya, Oman. Al-Habsi memulai kariernya di klub lokal, Al-Mudhaibi. Kiprahnya di Eropa sebetulnya dimulai dari Lyn Oslo, sebuah klub sepak bola di Norwegia. Kiper yang satu ini mulai banyak dikenal ketika bertugas di Inggris.

Sekitar tahun 2006, Al-Habsi bergabung dengan tim muda Bolton. Sebelum akhirnya Al-Habsi berseragam Wigan Athletic tahun 2011. Nah, di Wigan itulah sang kiper menyabet gelar Piala FA 2013. Meskipun ia tidak bermain di final kontra Manchester City.

Al-Habsi hanya menjadi kiper cadangan. Meski demikian, selama kariernya di Wigan, Al-Habsi menoreh statistik menawan. Ia mengemas 154 kaps dan berhasil menciptakan 36 clean sheets.

Brighton dan Reading pun tergiur untuk menjajalnya. Sempat kembali ke Jazirah Arab dengan bergabung Al-Hilal, hebatnya Al-Habsi masih bisa kembali ke Inggris. Setelah meraih Piala Super Arab Saudi dan Liga Saudi, ia direkrut West Bromwich Albion tahun 2019. Dan West Brom itulah klub terakhirnya sebelum pensiun.

Noureddine Naybet

Ketika Manchester United ingin mendatangkan kiper dari Italia, Massimo Taibi, bersamaan dengan itu Sir Alex Ferguson juga ingin meminang Noureddine Naybet, pemain Maroko yang sukses di Spanyol. Tapi Fergie harus membatalkan negosiasi karena sang bek tidak dapat menyelesaikan kesepakatan sebelum tenggat waktu.

Bek yang satu ini merupakan veteran Piala Dunia 1994 dan 1998. Ia memulai kariernya dari klub negara asalnya, Wydad Casablanca sebelum dicium bakatnya oleh FC Nantes sekitar tahun 1993. Naybet memulai karier Eropanya di sana. Akan tetapi ia kurang berhasil.

Keberhasilannya di Eropa mulai didapat ketika berseragam Sporting Lisbon. Di eks klubnya Ronaldo itu, Naybet meraih Piala Super Portugal. Namun, yang membuatnya menjadi komoditi terpanas adalah ketika berseragam Deportivo La Coruna. Bersama klub berjuluk Super Depor itu, Naybet meraih Piala Super Spanyol, La Liga, dan Copa Del Rey.

Sayang, kariernya mandek setelah gabung Tottenham Hotspur. Di klub itulah ia memutuskan gantung sepatu. Meski begitu, Naybet boleh dibilang adalah peletak kesuksesan pemain Maroko di Eropa.

Medhi Benatia

Medhi Benatia menjadi salah satu pemain Maroko yang mengikuti kesuksesan Naybet. Lahir di Prancis memudahkan Benatia untuk menapaki kariernya. Ia memulai karier dari tim muda Clairef kemudian ke Guingamp. Benatia juga sempat berkarier di Marseille, Lorient, sampai Clermont Foot.

Hanya saja selama di Prancis, Benatia tak mendapat trofi. Kariernya baru merekah ketika pindah ke Italia. Udinese adalah klub pertamanya di Italia. Dari sana ia kemudian pindah ke AS Roma. Penampilan apik bersama Giallorossi dengan 5 asis dalam 37 pertandingan, ia pun dibeli Bayern Munchen.

Tentu saja Die Roten tempat yang pas buat meraih trofi. Dua gelar Bundesliga dan satu trofi DFB Pokal diraih Benatia selama berseragam FC Hollywood. Dua musim bersama The Bavarians ia kembali ke Italia. Kali ini Juventus meminangnya. Tak disangka, di Nyonya Tua pencapaiannya makin ngadi-ngadi.

Selama berseragam Juve, tiga Scudetto, dua Coppa Italia, dan satu Piala Super Italia ia rengkuh. Puncak keberhasilannya adalah ketika Benatia bermain di Piala Dunia 2018 untuk Maroko.

Riyad Mahrez

Setelah dari Maroko, kita beralih ke Algeria atau Aljazair. Di sana lahir pemain sayap berbakat bernama Riyad Mahrez. Pemain Aljazair itu menjadi bagian penting skuad Leicester ketika menyabet gelar Liga Inggris di musim 2015/16. Kemampuannya itu juga mengantarkan Aljazair juara di Piala Afrika 2019.

Meski Mahrez adalah orang Aljazair, namun ia lahir di Prancis. Ia memulai kariernya di klub Prancis seperti Le Havre. Namanya makin ranum ketika dibeli Manchester City dari Leicester. Masuk ke skuad Josep Guardiola adalah kesempatan emas. Dan Mahrez tidak melepas kesempatan itu.

Menjadi salah satu pembelian termahal Guardiola, Mahrez menjawabnya dengan penampilan apik di atas lapangan. Mahrez adalah sosok supersub yang luar biasa. Pencapaian terakhir terbaiknya adalah meraih treble bersama Manchester City. Sebelum akhirnya hijrah ke Arab Saudi.

Hakim Ziyech

Pemain berikutnya yang mengikuti jejak Naybet adalah Hakim Ziyech. Ziyech yang lahir di Dronten memulai kariernya di Belanda. FC Twente menjadi klub profesional pertamanya. Namun, Ziyech baru mulai meraih kesuksesan ketika berseragam Ajax tahun 2016.

Di Ajax, setidaknya Ziyech meraih piala-piala penting, seperti Piala Super Belanda, Piala Belanda atau KNVB Beker, dan Eredivisie. Dari Ajax ia ke Chelsea. Di klub London inilah Ziyech meraih trofi yang tidak diraih Medhi Benatia. Yup, trofi itu adalah Liga Champions.

Selain Liga Champions, bersama Chelsea ia juga meraih Piala Super Eropa dan Piala Dunia Antarklub. Pemain yang pernah berseragam Timnas Belanda itu masih sering dilibatkan di Timnas Maroko.

Achraf Hakimi

Pemain berikutnya adalah Achraf Hakimi yang mencuri perhatian di Piala Dunia 2022 lalu. Pemain Maroko ini punya trofi lebih variatif ketimbang Benatia dan Ziyech. Lahir di Madrid, Hakimi memulai sepak terjangnya di Real Madrid. Ia menghabiskan waktu mudanya di tim Castilla.

Pada tahun 2017, Hakimi masuk ke tim utama Real Madrid. Ia berhasil meraih gelar Liga Champions bersama Los Galacticos. Sayangnya, meski meraih Liga Champions dan Piala Dunia Antarklub, penampilannya di Los Blancos tidak cukup apik. Justru ketika pindah ke Borussia Dortmund, kemampuan Hakimi baru kian terasah.

Di Bundesliga, Hakimi menjelma salah satu bek kanan terbaik. Kemampuannya yang juga bisa bergerak di lini tengah membuatnya bisa berkontribusi dalam gol. Selama di Dortmund ia mengemas 12 gol dalam 73 laga. Padahal ketika di Dortmund itu ia statusnya pinjaman.

Penampilan apik bersama Die Borussen membuat Inter kepincut. La Beneamata akhirnya menebus mahal sang bek dari Real Madrid. Biaya transfer 43 juta euro (Rp716 miliar) yang dikeluarkan Inter dibayar trofi scudetto oleh Hakimi. Ia kemudian berseragam PSG dan meraih trofi Ligue 1 dan Piala Super Prancis.

Mohamed Salah

Terakhir dan tentu saja yang tidak boleh terlewatkan adalah Mohamed Salah. Pemain berjuluk The Pharaoh itu memulai karier di klub Mesir, El Mokawloon. Tapi ia hanya butuh waktu sebentar untuk ditemukan klub Swiss, FC Basel. Usianya baru 19 tahun, tapi Salah sudah memenangkan Liga Super Swiss di musim pertamanya bersama Basel.

Kiprah itu membawanya menjalani debut di Timnas Mesir. Salah kemudian gabung ke Chelsea. Namun, klub yang waktu itu masih dikuasai Roman Abramovich sama sekali tak memakainya. Salah justru dipinjam-pinjamkan ke klub Serie A. Ia dipinjam Fiorentina dan AS Roma.

Selama masa pinjaman di dua tim itu, Salah kian berkembang. Kemampuan dribelnya kian baik. Tapi Chelsea malah menjualnya ke AS Roma. Bersama i Lupi, Salah menjelma komoditi terpanas di Eropa. Liverpool berhasil memenangkan perburuan Salah dengan nilai transfer 42 juta euro (Rp700 miliar).

Trofi demi trofi diraihnya bersama The Reds. Liga Champions, Liga Inggris, Piala Dunia Antarklub, Piala Liga, Piala FA, Piala Super Eropa, Piala Liga Inggris, sampai Community Shield. Salah juga rajin mencetak gol. Sudah tiga kali ia menjadi top skor Premier League.

Kiprah itu membuat Salah jadi ikon Mesir. Menjadi bukti bahwa meski negara itu penuh pengangguran dan sering terjadi kerusuhan politik, tapi bisa menghasilkan pemain hebat seperti The Pharaoh. Salah juga berhasil mengubah sentimen umat Islam di Eropa, khususnya Inggris ke arah yang positif. Well, menurut football lovers, dari pesepakbola Jazirah Arab tadi, mana yang terbaik?

Sumber: ArabNews, RedBull, Britannica, TimesOfOman, TheGuardian, TheConversation, LigaLaga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *