Balada Nasib Striker Muda Italia Pabrikan AC Milan

Masyhurnya sejarah AC Milan di sepakbola domestik dan Eropa tidak hanya dibangun oleh pemain-pemain top yang berhasil didatangkan saja. Namun, juga dari pembinaan usia muda yang baik. Tradisi ini bahkan sudah dikembangkan dalam puluhan tahun lamanya.

Klub yang bermarkas di San Siro ini dulu pernah menghasilkan pemain-pemain top di setiap lini tak terkecuali pemain depan. Sebut saja macam Pierre-Emerick Aubameyang yang sukses di Inggris dan Spanyol. Tapi sekarang akademi Milan seperti sudah kehabisan stok striker potensial. Mereka bahkan sudah jarang menyumbangkan penyerang tajam ke skuad Timnas Italia.

Ngomong-ngomong soal akademi Milan, ada tren menarik di balik suksesnya program pembinaan klub tersebut. Para penyerang muda asal Italia memang bisa dengan cepat menembus skuad utama Rossoneri. Namun, beberapa dari mereka justru memiliki karir yang buruk di sana. Mereka banyak yang layu sebelum berkembang.

Centro Sportivo Vismara

Tak bisa dipungkiri, AC Milan jadi salah satu klub yang menghasilkan pemain-pemain top di masanya. Contohnya saja seperti Franco Baresi, Paolo Maldini, Gianluigi Donnarumma, hingga pemain-pemain yang kini masih aktif bermain di Serie A seperti Matteo Darmian dan Davide Calabria. Khusus Calabria ia bahkan masih berseragam Milan hingga sekarang. 

Pemain-pemain itu lahir dari program bernama Settore Giovanile di Centro Sportivo Vismara. Di sana mereka menjalani beberapa program dengan teratur tentang pengembangan diri, baik di lapangan maupun di luar lapangan. 

Vismara memiliki fasilitas kelas wahid untuk mencetak bakat-bakat muda. Tak terkecuali bagi para penyerang muda potensial yang nantinya diproyeksikan untuk mengisi lini depan AC Milan bahkan Timnas Italia. 

Namun, di sisi lain Rossoneri tak pernah menuai hasil dari garapan akademi sendiri. Krisis ekonomi di era Yonghong Li juga bikin proyek akademi AC Milan makin nggak jelas. Mereka ingin membangun kembali tim tapi dengan cara yang terburu-buru. Itu berimbas kepada keputusan manajemen dalam menentukan masa depan pemain-pemain muda mereka.

Alessandro Matri 

Salah satu nama yang terkenal adalah Alessandro Matri. Pemain kelahiran Sant’angelo, Italia ini barangkali lebih terkenal ketika berseragam Juventus ketimbang Milan. Hal itu disebabkan oleh performa Matri yang jauh dari harapan ketika menembus skuad utama Il Diavolo Rosso. 

Ia kalah bersaing dengan nama-nama beken seperti Andriy Shevchenko dan Filippo Inzaghi. Debut Matri terjadi di laga kontra Piacenza tahun 2003 sebagai starter. Saat itu Milan mengistirahatkan sebagian besar pemain regulernya untuk Final Liga Champions 2003.

Dirasa terlalu dini untuk menembus skuad utama, Matri menjalani beberapa musim sebagai pemain pinjaman agar dia mendapat menit bermain. Namun, ketika kembali ke Milan, performanya sama saja. Akhirnya dilepas ke Cagliari pada tahun 2007. Lucunya, bersama Cagliari, sang pemain tampil apik. 

Berseragam Cagliari selama tiga musim, ia konsisten mencetak dua digit gol di Serie A dalam dua musim terakhirnya. Performa itu membawa Matri ke Juventus. Nah, di Juventus lah dia meraih beberapa gelar bergengsi termasuk empat scudetto Serie A.

Melihat itu Milan pun mendatangkan kembali Matri pada tahun 2013. Namun, lagi-lagi sang pemain tak bisa berbicara banyak. Matri tak mampu memaksimalkan kesempatan kedua yang sudah diberikan oleh Milan. Matri hanya mencatatkan 19 pertandingan dan mencetak 1 gol bersama Milan.

Alberto Paloschi

Alessandro Matri mungkin memang bukan rejekinya di Milan dan bisa meraih sukses di klub lain. Namun, beberapa penyerang lain macam Patrick Cutrone, Alberto Paloschi, dan Andrea Petagna malah memberikan harapan palsu. Mereka sempat digadang-gadang bakal jadi masa depan AC Milan, tapi bagusnya cuma di awal doang.

Nama Paloschi mengejutkan jagad media Italia ketika mencetak gol di dua laga melawan Catania di ajang Piala Italia musim 2007/08. Di musim yang sama, ia kembali mencetak gol di laga debutnya di Serie A kontra Sienna. Setelah laga tersebut, ia mulai banyak diperbincangkan. 

Media-media Italia mulai menganggap kalau Milan telah menemukan titisan Filippo Inzaghi di diri Paloschi. Namun, ekspektasi itu seketika kandas karena sang pemain sulit tampil konsisten. Cedera mengganggu perkembangan sang pemain dan akhirnya dilepas ke Parma di musim 2008/09. 

Bersama Parma, performanya mulai membaik dan Milan rela menebusnya kembali dua tahun kemudian. Tapi ia kembali gagal membuktikan diri. Kini, Paloschi hanya bermain untuk klub Serie C, Sienna, klub yang dibobol olehnya di awal karir bersama Milan. Mungkin ini seperti balas budi Paloschi kepada Sienna ya.

Andrea Petagna

Lalu ada Andrea Petagna. Pemain yang satu ini merupakan penyerang muda berbakat pada masanya. Ia bahkan jadi pemain kunci di AC Milan U-15 dan U-17. Bersama skuad muda Milan, Petagna membantu tim meraih kejuaraan nasional dalam dua tahun berturut-turut. Prestasi itu yang membuat namanya dipromosikan ke skuad utama tahun 2012.

Menembus skuad utama membuat Andrea Petagna memikul beban berat di pundaknya. Ekspektasi fans membumbung tinggi mengingat prestasinya di tim muda. Sayang, harapan itu dianggap terlalu besar untuk pemain muda sepertinya. Ia hanya bermain sebanyak 5 kali di semua kompetisi tanpa mencetak satu gol pun.

Kini, Petagna bermain di AC Monza dengan status pemain pinjaman dari Napoli. Dengan begitu, pemain berusia 27 tahun itu tak masuk dalam daftar skuad Napoli yang meraih scudetto musim 2022/23.

Patrick Cutrone 

Sama halnya dengan Petagna dan Paloschi, Cutrone juga hanya bagus di awal. Bakatnya ditemukan oleh pemandu bakat Milan saat itu, Mauro Bianchessi. Saat itu, Cutrone langsung mencetak 14 gol dari 19 pertandingan di tim primavera. Catatan itu mengantarkan dirinya ke skuad utama Milan. Ia bahkan sempat menjadi andalan di lini depan Milan dari 2016 hingga 2018. 

Ia mencetak 19 gol dalam 22 pertandingan di musim 2016/17 bersama tim primavera sebelum akhirnya menghabiskan sisa musim di skuad utama. Jadi tak heran apabila manajemen dan fans berharap besar padanya ketika klub krisis striker musim tersebut.

Musim penuh pertamanya berjalan cukup baik. Ia mencetak 18 gol di semua kompetisi musim 2017/18. Mungkin hanya tinggal menunggu waktu untuk bisa melihat Cutrone mencapai potensi maksimalnya di Milan. 

Sayang pelatih baru Milan saat itu, Marco Giampaolo tak cocok dengan gaya bermain Cutrone yang keras dan lamban. Giampaolo lebih menggemari penyerang yang cepat dan mampu melakukan pergerakan menusuk. Alih-alih melihat Cutrone bersinar, Milan justru menjualnya ke Wolves tahun 2019. Kepindahan itu dianggap jadi awal keterpurukan bagi Cutrone. Ia sulit berkembang dan kini hanya terdampar di klub Serie B, Como.

Marco Borriello

Satu penyerang lagi yang mungkin nasibnya paling mending, yakni Marco Borriello. Mending di sini bukan berarti ia mencetak banyak penampilan dan mencetak gol untuk Milan. Melainkan Borriello muncul di era kejayaan AC Milan. Pemain lulusan akademi milan ini muncul di skuad utama pada tahun 2002. 

Borriello memang produk asli Milan, tapi debut profesional pertamanya bukan bersama Milan, melainkan ketika dipinjamkan ke Treviso tahun 2000. Nah, pada tahun 2002 Milan mendatangkan kembali Borriello. Sama halnya dengan Matri, Borriello yang masih berusia 20 tahun kesulitan bersaing dengan penyerang-penyerang senior.

Yang membuat Borriello lebih mujur dari pemain-pemain lain adalah torehan trofinya bersama Milan. Meski jarang dimainkan dan kerap dipinjamkan bahkan dibuang dan dipungut lagi. Mantan penyerang Genoa itu berhak mendapat dua gelar scudetto musim 2003/04 dan 2011/12 serta dua trofi Liga Champions tahun 2003 dan 2007. 

Sumber: Rossoneri Blog, AC Milan, BR, Nytimes, Forza Italia, Wolves

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *