Ketika Bisnis Cerdas Selamatkan AS Monaco dari Kehancuran

AS Monaco kini dikenal sebagai salah satu klub papan atas Liga Prancis. Mereka sesekali memberikan shock therapy kepada sang pemilik kompetisi, PSG. Monaco juga dikenal sebagai tim yang jago dalam berbisnis. Apalagi soal pengembangan pemain muda yang nantinya bisa dijual dengan harga tinggi.

Namun, tahukah kalian kalau AS Monaco dulunya merupakan klub medioker yang sempat berjuang menghindari degradasi dan kebangkrutan? Kehidupan bak roda yang selalu berputar. Kadang kita di atas dan kadang juga di bawah. Begitu pun yang terjadi dengan AS Monaco di Liga Prancis. 

Monaco pernah berada di fase paceklik pada awal tahun 2011. Situasinya benar-benar sulit. Mereka hampir terdegradasi ke Divisi 3. Untung ada saudagar kaya dari Rusia yang menyelamatkan wajah Monaco di kancah sepakbola Prancis. Ia adalah Dmitry Rybolovlev. Lantas bagaimana kisah kebangkitan Monaco di tangan Dmitry?

Terdegradasi dan Hampir Bangkrut

Beberapa musim terakhir, mungkin jadi musim-musim yang baik untuk AS Monaco. Tapi jauh sebelum itu, Monaco merupakan klub biasa-biasa saja. Mereka bukan klub yang selalu bisa stay di papan atas. Contohnya ketika AS Monaco mengalami rangkaian permasalahan pada awal tahun 2011.

AS Monaco terpuruk di dasar klasemen. Semuanya berjalan tak sesuai harapan. Saat itu, Monaco sampai mengganti pelatih sebanyak dua kali, tapi itu tak berimbas apa pun terhadap performa klub. Musim 2010/11, Monaco hanya mengemas sembilan kemenangan saja dari 38 pertandingan.

Rangkaian kekalahan tak bisa dihindari oleh Park Chu-young dan kolega. Kekalahan dari Lyon di pekan terakhir Liga Prancis musim 2010/11 membuat Monaco terpaksa harus terdegradasi. Mereka mengakhiri musim yang sulit di peringkat 18 klasemen Ligue 1. Ini merupakan kali pertama klub yang bermarkas di Stadion Louis II itu terdegradasi ke kasta kedua.

Setelah terdegradasi ke kasta kedua, finansial klub pun mulai terganggu. Pendapatan klub kian menurun dan itu tak cukup untuk membiayai operasional tim. Sudah terdegradasi, nasib AS Monaco saat itu kian runyam. Pasalnya, krisis finansial yang sangat parah membuat klub yang identik dengan warna merah dan putih itu terancam bangkrut.

Dmitry Rybolovlev Datang

Setahun bergulat di divisi kedua, AS Monaco belum mampu kembali ke kasta tertinggi. Musim pertamanya di kasta kedua sepakbola Prancis berakhir buruk. Terseok-seok di papan bawah selama pekan-pekan awal, Monaco hanya finis di urutan kedelapan Ligue 2 musim 2011/12.

Namun, selalu ada hikmah yang bisa diambil. Saat masih bercokol di peringkat dua dari bawah, kebesaran dan sejarah Monaco menarik salah satu pengusaha kaya raya asal Rusia, Dmitry Rybolovlev untuk berinvestasi di klub. Tak tanggung-tanggung, Dmitry langsung mengambil alih 66% saham AS Monaco pada Desember 2011.

Di bawah kepemilikannya, Monaco yang tengah terpuruk mulai berevolusi. Dengan dukungan dana dan transfer pemain kecil-kecilan guna memperkuat setiap lini Monaco berhasil memuncaki klasemen kasta kedua Liga Prancis musim 2012/13. Mereka kembali ke kasta tertinggi sebagai juara Ligue 2. 

Menyongsong musim pertama Rybolovlev di Ligue 1, ia mulai jor-joran berinvestasi pada klub. Menurut France24, saat Monaco dinyatakan resmi kembali ke Ligue 1, pengusaha asal Rusia itu menggelontorkan dana hingga 100 juta euro atau setara dengan Rp1,6 triliun apabila disesuaikan dengan kurs sekarang untuk perbaikan infrastruktur dan pembelian beberapa pemain baru.

Kebangkitan

Dengan dana yang melimpah, AS Monaco terus mempercantik diri. Termasuk menghabiskan dana hingga 140 juta euro atau sekitar Rp2,2 triliun untuk mendatangkan Radamel Falcao, Joao Moutinho, Geoffrey Kondogbia, hingga James Rodriguez pada musim panas 2013. Kedatangan pemain-pemain itu jadi penanda kebangkitan Monaco ditangan Rybolovlev.

Sejak saat itu, Les Monegasques konsisten bersaing di papan atas Liga Prancis. Mereka bahkan hampir tak pernah terlempar dari empat besar dalam tahun-tahun pertamanya sejak promosi kembali ke kasta tertinggi. Walau belum bisa menyaingi PSG yang menjuarai liga secara beruntun, situasinya sudah jauh lebih baik ketimbang berlaga di divisi kedua.

Namun seiring berjalannya waktu, Rybolovlev sadar kalau membeli para pemain dengan harga mahal setiap tahunnya itu merupakan cara yang salah. Selain menyebabkan pengeluaran klub yang terus membengkak, ia enggan disamakan dengan rivalnya, yakni PSG yang terus menghamburkan dana ratusan juta euro demi membangun sebuah tim yang sempurna.

Investasi Pemain Muda

Dmitry Rybolovlev pun putar otak bagaimana agar AS Monaco bisa mendapat pemain berkualitas, tapi tetap memperhatikan keseimbangan finansial. Pasalnya, klub tidak bisa mengandalkan pemasukan dari penjualan tiket dan merchandise. 

Karena saat itu meskipun Monaco bersaing di papan atas, jumlah penonton di laga kandang tak mengalami lonjakan yang signifikan. Dari jumlah kursi stadion yang mencapai 16,500 kursi, paling hanya terisi 9000 hingga 10.000 saja.

Akhirnya, manajemen memutuskan untuk menerapkan kebijakan baru. Mereka akan mengubah sistem transfer menjadi lebih bijaksana. Monaco pun mulai meninggalkan kebiasaan membeli pemain siap pakai dengan harga mahal dan mulai mengumpulkan pemain muda dengan harga miring.

Pemain-pemain muda itu akan dipoles sedemikian rupa hingga siap bersaing skuad utama. Mempromosikan pemain muda potensial dari akademi juga jadi fokus Monaco saat itu. Kebijakan itu dianggap jadi opsi terbaik tanpa mengesampingkan sisi kompetitif di skuad AS Monaco.

Setelah menerapkan kebijakan ini, Rybolovlev mulai fokus meningkatkan kualitas fasilitas di akademi mereka. Dengan iming-iming bermain di salah satu kota terindah di Prancis, beberapa pemain muda pun mulai bermimpi untuk bisa menembus skuad utama Les Monegasques.

Cuan Banyak

Sistem baru yang dianut oleh AS Monaco pun membuahkan hasil. Pemain-pemain muda potensial yang didatangkan pun mulai ramai peminat dan klub berani menaruh harga tinggi. Tiemoue Bakayoko, Fabinho, Thomas Lemar, Allan Saint-Maximin hingga Bernardo Silva jadi contoh pemain-pemain yang sukses bersama AS Monaco.

Sementara sektor akademi AS Monaco meluluskan beberapa calon pemain bintang yang juga dilabeli dengan harga mahal. Contoh saja seperti Abdou Diallo, Benoît Badiashile hingga yang termahal mungkin Kylian Mbappe.

Generasi merekalah yang mengantarkan Monaco menggulingkan dominasi Paris Saint-Germain di kompetisi domestik. Pemain-pemain muda bahu-membahu mengantarkan tim menapaki tangga juara Liga Prancis musim 2016/17. Setelah musim yang luar biasa itu, Monaco menunjukan kejeniusan bisnisnya dengan menjual pemain-pemain mereka.

Meski tak semua pemain muda yang didatangkan berhasil dijual dengan harga tinggi, Monaco meraup untung hingga 231 juta pound atau sekitar Rp4,1 triliun pada tahun 2017 hanya dari penjualan pemain saja. 

Itu belum termasuk penjualan Mbappe ke PSG pada tahun 2018. Kala itu, Monaco mendapat untung 180 juta euro (Rp2,8 triliun) hanya dari penjualan Mbappe. Jumlah tersebut jadi pendapatan yang sangat besar bagi sebuah klub sepakbola. Pasalnya, bisnis sepakbola sering dianggap sebagai bisnis siap rugi.

Tapi Kontroversial

Sayangnya, catatan positif yang sudah digoreskan Rybolovlev rusak oleh beberapa kontroversi. Dilansir BBC, miliarder asal Rusia itu sempat tersandung beberapa kasus pada tahun 2018. Dari penipuan, penyuapan petinggi negara hingga kasus korupsi berjajar menghadang Rybolovlev.

Meski begitu, statusnya tidak berubah, sistemnya pun masih dipakai. Pengusaha berusia 56 tahun itu tetap menjabat sebagai pemilik AS Monaco hingga sekarang. Namun, situasinya berbeda. Kini AS Monaco tak segahar dulu. Mereka bahkan hampir terdegradasi lagi pada musim 2018/19 dan belum pernah menjuarai liga lagi.

Sumber: Spiegel, BBC, Futbolgard, Rferl, Republika

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *