Sepak Bola Prancis Tunjukkan Jadi Diri Anti-Islam?
admin
- 0
- 86
Ramadan 2023 jadi bulan yang istimewa bagi pesepak bola muslim yang merumput di Premier League. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, FA dan badan wasit memberlakukan panduan khusus untuk memberi otoritas kepada ofisial pertandingan agar mengizinkan para pemain muslim yang menjalankan ibadah puasa untuk berbuka puasa selama pertandingan yang digelar di waktu petang.
Meski tak ada panduan khusus, tetapi Serie A dan Bundesliga tak melarang pemainnya untuk berbuka puasa di tengah pertandingan. Mereka yang memiliki rekan setim yang tengah berpuasa malah dengan dengan sengaja pura-pura cedera atau mengulur waktu agar rekan setimnya bisa berbuka puasa di tengah laga. Wasit pun juga membiarkan hal tersebut dan memberi hukuman apapun.
Namun sayangnya, keistimewaan di bulan Ramadan tahun ini tak dapat dirasakan oleh para pesepak bola muslim yang merumput di Liga Prancis.
Federasi Sepak Bola Prancis Larang Pemain Muslim Berbuka di Tengah Pertandingan
Di awal Ramadan kemarin, sebuah email kontroversial dari Federasi Sepak Bola Prancis (FFF) bocor ke publik. Email yang dikirim ke Komisi Wasit Federal (CFA) itu berisi larangan kepada wasit yang bertugas di Ligue 1 Prancis untuk tidak menghentikan pertandingan sejenak demi memberi kesempatan kepada pemain muslim untuk berbuka puasa.
Netralitas jadi dalih dari FFF membuat larangan tersebut. Dalam akhir suratnya, FFF juga menegaskan kalau aturan tersebut tak hanya berlaku untuk wasit saja, tetapi juga seluruh pihak yang terlibat dalam pertandingan. Bahkan, siapa pun yang melanggar ketentuan tersebut akan dikenai sanksi disiplin dan/atau pidana.
“Sepak bola tidak memperhitungkan pertimbangan politik, agama, ideologi, atau serikat pekerja dari para pelakunya. Prinsip ini mengikat semua orang: pihak berwenang – klub – pemegang lisensi – wasit. Tergantung pada semua pemangku kepentingan untuk menegakkannya,” begitulah yang ditulis FFF dalam email kontroversial mereka.
Seperti yang sudah dapat diduga, larangan tersebut kemudian menimbulkan beragam kontroversi. Gelombang protes pun terjadi dan salah satu bentuk protes paling ikonik dilakukan oleh Ultras PSG.
Dalam laga lanjutan pekan ke-29 kontra Lyon, pendukung PSG membentangkan spanduk besar yang bertuliskan: ‘Kurma, segelas air, mimpi buruk FFF’. Spanduk tersebut adalah bentuk kecaman dari ultras PSG kepada Federasi Sepak Bola Prancis.
Apapun alasan yang menjadi bahan pertimbangan FFF, melarang pesepak bola muslim yang berpuasa Ramadan untuk berbuka di tengah pertandingan justru merupakan bentuk pelanggaran SARA. Selain itu, apa yang dilakukan FFF seperti menunjukkan jati diri mereka yang asli, yakni jati diri anti-Islam.
FFF Meminta Pemain Muslim di Timnas Prancis Untuk Menunda Puasa Ramadan
Pernyataan tadi mungkin terdengar agak keras, tetapi pada kenyataan memang ada indikasi kalau FFF tidak menghormati para pemainnya yang memuluk agama Islam dan menjalankan puasa Ramadan. Pasalnya, sebelum mereka melarang wasit menghentikan laga untuk berbuka puasa, FFF sudah lebih dulu meminta penggawa timnas Prancis yang beragama Islam agar menunda puasa mereka.
🟢 FOTBOALL: Referees in #France were told by the country’s football federation not to pause matches to let Muslim players break their fast during the month of #Ramadan.
Meanwhile, Muslim players in the French national football team were allegedly asked to postpone their fasting pic.twitter.com/7j2viT29T0
— The Narrations (@thenarrations) April 1, 2023
Imbauan ini terungkap lewat laporan media olahraga Prancis, L’Equipe. Para pemain muslim di timnas Prancis diminta untuk menunda puasa mereka selama pertandingan timnas Prancis yang berlangsung di bulan Ramadan. Menilik dari jadwal laga Les Bleus, imbauan itu berarti berlaku selama laga kualifikasi Piala Eropa 2024 kontra Belanda dan Republik Irlandia, pertengahan Maret kemarin.
Dalam laporannya, L’Equipe menulis, “Staf Prancis tidak akan memaksa siapa pun untuk tidak mengikuti keyakinan mereka, tetapi staf Les Bleus tetap memberikan rekomendasi dengan harapan para pemain akan memilih untuk menunda puasa selama lima hari selama pertandingan di bulan Ramadan.”
Puasa Ramadan hukumnya wajib dan bagian dari rukun Islam. Oleh karena berat hukumnya bagi mereka yang dengan sengaja meninggalkan puasa Ramadan tanpa alasan yang dibenarkan syariat. Itulah kenapa banyak umat Islam yang sangat mengecam dan mengkritik “rekomendasi” di timnas Prancis tersebut.
Pemain FC Nantes Dicoret Karena Puasa Ramadan
Dua polemik yang mendiskreditkan pemain muslim yang tengah berpuasa Ramadan itu kemudian diperparah dengan aturan yang dibuat oleh pelatih FC Nantes, Antoine Kombouare. Bukan lagi mengimbau, Kombouare malah melarang pemainnya yang beragama Islam untuk berpuasa Ramadan di hari pertandingan.
Buntut dari aturan tersebut, bek kiri 20 tahun asal Aljazair, Jaouen Hadjam dicoret dari skuad ketika Nantes bertandang ke markas Reims, Minggu 2 April lalu. Hadjam diketahui enggan membatalkan puasanya dan tetap memilih berpuasa di hari pertandingan.
Pencoretan tersebut tak ayal membuat pelatih Antoine Kombouare disorot dan dikritik habis-habisan. Apalagi di laga tersebut Nantes keok 3 gol tanpa balas. Kombouare kemudian membuat pembelaan.
“Tidak ada kontroversi. Mereka yang berpuasa, saya mendukung mereka. Pada hari-hari pertandingan, Anda tidak boleh berpuasa. Itu bukanlah sebuah hukuman. Saya menetapkan aturan. Itu adalah pilihannya dan saya menghormatinya,” kata Antoine Kombouare dikutip dari Goal.
Algeria defender Jaouen Hadjam was dropped from Nantes’ squad before their defeat to Stade de Reims in Ligue 1 on Sunday after insisting on not breaking his Ramadan fast.
This is what Nantes coach Antoine Kombouare said after the match: pic.twitter.com/hkDs2te9Xx
— ESPN FC (@ESPNFC) April 3, 2023
Kambouare juga menjelaskan kalau ia sebetulnya tak ada masalah dengan pemain yang berpuasa. Selain ia ingin aturannya dipatuhi, Kambouare juga tak mau pemainnya mengalami cedera gara-gara berpuasa.
Alasan tersebut tentu kurang dapat diterima. Tidak mudah memang berpuasa di tengah pertandingan, tetapi beberapa pemain justru membuktikan kalau performa mereka tak terganggu meski tengah berpuasa di bulan Ramadan.
Di pekan yang sama saat Hadjam dicoret, Karim Benzema sukses mencetak hattrick saat Real Madrid melibas Valladolid 6-0. Di Liga Inggris, ada Nayef Aguerd, bek timnas Maroko yang menjadi penentu kemenangan West Ham United atas Southampton. Sementara di Bundesliga, ada Moussa Diaby yang menyumbang 2 asis tatkala membantu Bayer Leverkusen menang 3-0 atas Schalke.
Jaouen Hadjam sendiri dikabarkan setuju dengan peraturan yang dibuat oleh pelatihnya. Namun, ia hanya mau membatalkan puasanya ketika Nantes melakukan laga tandang saja dan tetap berpuasa di laga kandang.
Dengan alasan tersebut, Hadjam secara syariat memang diperbolehkan meninggalkan puasa Ramadan karena tengah dalam kondisi bepergian jauh atau safar. Akan tetapi, belakangan muncul kabar kalau Antoine Kombouare baru akan mengembalikan Hadjam ke skuad utama setelah Ramadan selesai. Artinya, bek timnas Aljazair itu tidak akan dimainkan oleh FC Nantes selama bulan Ramadan 2023.
Kasus serupa yang menimpa Jaouen Hadjam sebetulnya bukanlah yang pertama kalinya terjadi di Ligue 1 Prancis. Di Ramadan tahun lalu, manajer Saint-Etienne, Pascal Dupraz dilaporkan meminta pemainnya yang beragama Islam untuk tidak berpuasa usai timnya dihajar 6-2 oleh Lorient.
Tuduhan Rasis dan Islamofobia Christophe Galtier
Setelah berita pencoretan Jaouen Hadjam mereda, polemik baru kembali muncul di Liga Prancis. Kali ini yang menjadi topik adalah pelatih PSG, Christophe Galtier. Belum lama ini, Galtier dituding rasis dan Islamofobia.
Polemik tersebut berawal dari email yang bocor dari mantan direktur sepak bola Nice, Julien Fournier yang ditujukan kepada direktur INEOS, Dave Brailsford. Dalam email tersebut, Galtier mengatakan kepada Fournier bahwa Nice “tidak boleh memiliki begitu banyak orang kulit hitam dan Muslim dalam tim.”
Dalam email tersebut, percapakan lain juga terungkap. Pada 9 Agustus 2021 lalu, Galtier bertemu dengan Fournier dan mengatakan kepadanya, “Anda telah membangun tim yang terdiri dari sampah. Hanya ada orang kulit hitam dan separuh dari tim berada di masjid pada Jumat sore.”
Seperti yang kita tahu, sebelum melatih PSG, Galtier sempat semusim melatih Nice. Di masa itulah ia dituding membuat komentar rasis tentang pemain kulit hitam dan Muslim. Tak hanya itu, sebelum dilaporkan membuat komentar rasis, media lokal Nice-Martin melaporkan bahwa sebelum Galtier meninggalkan Nice, ia telah kehilangan sebagian kepercayaan skuadnya atas penanganannya selama Ramadan.
Dikutip dari GFFN, Galtier telah meminta para pemain Muslimnya untuk tidak berpuasa selama bulan suci Ramadan. Beberapa pemain disebut mematuhi aturan tersebut, tetapi tidak dengan Hicham Boudaoui dan Jean-Clair Todibo. Todibo bahkan disebut marah dan melempar kerucut latihan di tengah-tengah sesi latihan Nice.
Christophe Galtier asked Nice’s Muslim players to not fast during Ramadan last year, per @Nice_Matin.
Jean-Clair Todibo refused and “exploded” over Galtier’s request — he even threw a cone during a training session. Despite this, Galtier picked Todibo for every match in Ramadan. pic.twitter.com/cLcMg8SDGq
— Zach Lowy (@ZachLowy) April 9, 2023
Tuduhan rasis dan anti-Islam tersebut berdampak buruk bagi Christophe Galtier. Ia dan keluarganya sampai mendapat ancaman pembunuhan hingga Galtier sendiri disebut harus menyewa jasa pengawal.
Galtier sudah membantah tudingan tersebut dan menyebutnya sebagai fitnah. Langkah hukum kini telah coba diupayakan untuk membersihkan nama baiknya.
Kasus yang menimpa Christophe Galtier tadi menambah panjang deretan masalah yang terjadi di Liga Prancis selama Ramadan 2023. Yang menjadi keprihatinan, masalah-masalah tersebut terkait dengan aturan selama Ramadan dan perlakuan terhadap pemain muslim yang berpuasa. Yang menjadi pertanyaan, kenapa ini terjadi di liga top Eropa sekelas Prancis?
Jawaban atas pertanyaan tersebut sebetulnya cukup mudah dijawab dan jadi bukti kalau sepak bola tak bisa dilepaskan dari politik, agama, hingga kondisi sosial budaya di sebuah negara. Meskipun Prancis merupakan negara Eropa dengan jumlah penduduk muslim terbesar, tetapi Prancis adalah negara sekuler dengan rekam jejak Islamofobia.
Karikatur Nabi, pembakaran Alquran, hingga hinaan terhadap Islam yang dilontarkan Presiden Emmanuel Macron adalah beberapa contoh kasus islamofobia yang pernah terjadi di Prancis. Permasalahannya, Islamofobia di Prancis seperti sudah melembaga dan meluas. Sikap dan aturan yang dikeluarkan FFF selama Ramadan tahun ini adalah buktinya.
Jadi, larangan berbuka puasa di tengah pertandingan hingga larangan puasa Ramadan bagi pemain muslim yang terjadi di Liga Prancis hanyalah penegas dari jadi diri sebagian besar penduduk Prancis, yakni jati diri anti-Islam. Mungkin ini juga yang membuat sebagian pemain muslim terbaik Prancis hijrah dan lebih nyaman merumput di negara lain.
Referensi: DailyMail, MoroccoWorldNews, Anadolu Agency, GFFN, CNN, Goal, Goal.